Little House On the Pelaihari (1)

Pelaihari, 12 Januari 2011


Akhirnya ada juga waktu untuk mengupdate posting di dwinantofamily. Setelah 2 minggu dilanda keriuhrendahan pindah rumah, sekolah baru dan adaptasi di lingkungan baru.

Tempat tinggal baru saja mungkin hanya menyita waktu untuk mengepak barang dan membongkarnya lagi. Tapi memindahkan kehidupan, lain lagi ceritanya. Logat, kosakata yang berbeda, sekolah anak-anak, jalan yang belum diingat dan perbedaan kebiasaan masyarakat setempat –yang padahal masih dalam Indonesia- cukup membuat kejutan . Dari rasa frustasi tidak bisa menemukan provider dan toko software (posting ini bahkan masih menggunakan Word Starter karena sales Pazia Banjarmasin tidak tahu harga Software Microsoft saat ini dan janji menelepon kami 1 minggu lagi) hingga kelucuan yang terjadi akibat salah jalan atau tidak mengerti bahasa setempat membuat ada banyak ide di kepala saya. Hingga kemarin di perjalanan dari Banjarmasin saya sempat mengungkapkan ide menulis seri cerita “Little House On the Pelaihari” kepada suami.

Pelaihari, bukan Prairie seperti karya Laura Inggals.

Pelaihari adalah nama Ibu Kota Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Tidak begitu akrab di telinga kebanyakan orang, bahkan saya sendiri baru mengetahui nama kota ini-jujur saja- kurang dari 2 tahun terakhir. Petugas Kantor Pos di Perumnas I, Bekasi bahkan sempat bertanya kota besarnya apa Bu? Dan Banjarmasin lebih dikenal olehnya padahal Ibu kota provinsi tersebut 1 jam jaraknya dari Pelaihari. Dan 1 Jam disini-demi Tuhan yang Agung, tanpa macet- berarti lebih dari 80Km. Perusahaan ekspedisi swasta punya kode sendiri untuk tujuan pengiriman ke Pelaihari, tetapi mereka mengira dari Banjarmasin ke Pelaihari harus ditempuh dengan perahu! Informasi sesat lainnya yang menjelaskan saya tidak sendirian dalam ketidaktahuan tentang Pelaihari. Walaupun Bekasi yang merupakan bagian akhir dari akronim terkenal JABODETABEK hampir-hampir tidak dikenal oleh penduduk kota Pelaihari, sebelah mana Bandung atau termasuk Jakarta mana kah? Adalah pertanyaan yang kerap saya jawab disini. Hiduplah Indonesia Raya, karena besarnya.

Ibu Kota kabupaten ini tidak memiliki pusat perbelanjaan, tidak ada cabang waralaba Indo***** atau alf*mart, tidak ada gerai makanan siap saji dan tidak ada angkutan umum yang melayani rute jalan utamanya! Itu saja sudah cukup membuat kami berjibaku di minggu pertama kepindahan kami ke sini.

Berbelanja di pasar tradisional bukan masalah untuk ibu rumah tangga seperti saya yang biasa setiap minggu ke pasar tradisional dekat rumah di Bekasi. Tetapi belanja ke pasar tanpa ingat jalan pulang, itu masalah lain. Karena kami datang ke sini di hari Minggu dan pada hari Selasa suami sudah kembali masuk Kantor, maka saya hanya punya satu hari Senin yang berharga untuk menghafal jalan dari rumah ke pasar dan sebaliknya. Seperti yang sudah saya ceritakan, tidak ada angkutan umum disini sementara sepeda motor saya masih dalam perjalanan dari Bekasi (menggunakan ekspedisi swasta yang mengira Pelaihari adalah Pulau lain diluar Banjarmasin-ya Tuhan!) maka saya dan anak-anak menggunakan sepeda mini untuk alat transportasi sementara. Lagi-lagi, Sepeda mini memang bukan masalah. Di Bekasi yang panas dan sibuk kami biasa bersepeda mini hingga berkilo-kilo meter, karena jalan-jalan di kota patriot yang macet itu rata. Pelaihari? Dengan suhu siang hari tanpa hujan bisa mendekati 40 derajat, kontur jalan disini naik turun dan banyak tanjakan.

Tidak sampai 2 kilometer dari rumah ke Pasar, dengan beberapa tanjakan dan turunan serta jalan-jalan kecil dengan aspal yang belum rata. Berangkat pun tidak ada masalah, kami berhasil sampai di Toko Mitra, sebuah swalayan lokal dan membeli keperluan sehari-hari termasuk kue Bika kesukaan saya dan Aisha. Entah kenapa saya tidak ingat kelokan yang bisa membawa kami pulang dan kesalahan belok itu menjadi petualangan menggenjot dan mendorong sepeda mini dengan 2 anak plus belanjaan hampir-hampir keliling kota! Beruntung Aisha mengingat beberapa nama jalan kecil yang pernah kami lalui bersama suami sehingga setelah 2 jam yang membuat saya merasa jadi waria (sebetulnya ingin menuliskan : menggenjot sepeda sampai jadi banci) sebelum benar-benar bertransformasi menjadi Abang Becak, kami tiba di rumah dengan selamat. Karena handak bertanya pun kami belum ingat lagi alamat atau menjelaskan posisi rumah kami sendiri!

Itu belum termasuk masalah bahasa. Di Pasar orang-orang menggunakan bahasa banjar, yang kalau di perhatikan benar sama saja dengan bahasa Indonesia (melayu) dan beberapa kosakata bahasa Jawa dan Sunda sekaligus. Hanya logatnya yang benar-benar asing dan kecepatan pengucapan lah yang membuat saya hanya bisa menatapi penjual sayuran tanpa mengerti sepatah kata pun yang dia ucapkan.

Sebenarnya kejadiannya cukup lucu, seperti ketika saya berkata hendak membeli sayur sup (di Bekasi ini artinya bungkusan berisi kol,wortel,kentang dan seledri serta tomat), diberinya daun sup (seledri) dalam ikatan besar. Waktu hendak membeli ayam penjualnya bertanya “berapa ekong” (ekor) dengan logat yang asing ditelinga saya hingga terdengar “apa kong” (engkong =kakek, bahasa betawi) sehingga saya bingung sekali. Orang Banjar tidak jelas mengucapkan huruf “r” dalam kata-katanya. Ternyata kata ekong ini digunakan seorang ibu di sekolah Aisha untuk menyatakan jumlah murid yang terlambat...hmm?

Atau untuk kata “buting” (butir atau satuan lainnya) seperti untuk telur, padahal “Bunting” dalam bahasa betawi artinya hamil/mengandung.

“Telurnya berapa sekilo,Pak?”

“saribu sabuting, berapa buting kah?” (dengan logat yang baru saya dengar dan kecepatan berbicara si Bapak terdengar seperti “ ...ibu bunting...)

Di akhir tawar menawar para paman (begitu sebutan “abang sayur” disini) sayur itu kerap menyebut kata “Jual” atau “ Juallah” yang sepertinya berarti “deal” tapi kerap membuat saya kembali lagi “eh, ada apa?”

Di Pelaihari tidak ada ATM BCA sehingga jargon “Bank Jago ATM” tidak ada lagi di kepala kami. Kesibukan lainnya memindahkan rekening ke Bank Mandiri (hidup pemerintah!) dengan petualangan mencari-cari jaringan ATM bersama milik BRI. Masalahnya bukan pada bank atau rekeningnya, tetapi disini tidak bisa belanja dengan kartu! Sehingga membeli peralatan elektronik seperti Televisi, DVD termasuk antena parabolanya harus membawa sekantung uang tunai. Ini lucu, mengingatkan saya pada salah satu bagian cerita di novel Negeri van Orange dimana Abah Geri hendak membayar 10000 euro secara tunai kepada pemilik apartemen dan dikomentari “in Cash? Are you crazy?” Beli TV,DVD dan parabola in cash? Are you crazy? Berhitung sampai 3 juta rupiah saja sudah membuat saya merasa jadi saudagar .Oh inflasi rupiah!

Tetapi diluar semua itu, Pelaihari adalah kota kecil yang bersih dan nyaman. Ada taman-taman kecil di tengah kota yang bisa dijadikan tempat mampir sepulang dari pasar atau sekolah untuk sekedar minum atau menyuapi anak. Penduduknya ramah, welcome pada orang baru dan langsung mengalihkan bahasa ke bahasa Indonesia begitu kita mengakui “saya belum bisa bahasa banjar” serta tidak sungkan menunjukkan arah. Bahkan polisi di persimpangan jalan tidak segan membantu mendorong sepeda.

Could be our 2nd hometown? Pelaihari, here we come.

Komentar

  1. waduh.....seru jg ya mba petualangannya,,,jgn patah semangat tuk beradaptasi yaa mba :)...btw, tulisan mba enak di baca, ngalir serasa aq yg ada di sana deh,,,sapa tau bisa jd penulis besar neh (kalo iya, bagi2 bukunya yaaaaaa ....hihihi)

    BalasHapus
  2. Wah udah nemu tuh judul buku yang bagus... :) Baru pindahan ke Pelaihari toh. Jauh banget. Bahasa Banjar, inget cuma : ulun kada kawan basa Banjar? Selamat beradaptasi dan menulis buku :)

    BalasHapus
  3. De Ami : Merasa jadi keluarga Ingalls..
    Sensei Andini : Banjaru go mo hanasemasu ka?

    BalasHapus

Posting Komentar