Kemasan Roti yang Kempes

Sore itu hujan turun tiba-tiba memang musim kemarau basah ini membuat cuaca tidak menentu, dari panas terik bisa tiba-tiba mendung berat dan hujan lumayan besar. Masalahnya, saya hanya membawa jas tipis sebatas lutut untuk perjalanan pulang dari kantor ke rumah.

Satu jam sebelum buka puasa, saya masih berjuang diatas sepeda motor,sudah terlalu sore untuk menelepon salahsatu layanan antar langganan. Memang selama bulan puasa ini setiap sore saya berkelana dari satu penjual makanan ke penjual lain atau dari satu delivery service ke delivery service yang lain. Dengan Maliq yang superaktif saya tidak mengizinkan si Mbak untuk memasak kalau tidak ada orang lain di rumah, jadilah kami hanya melakukan aktivitas masak menjelang sahur. Maka dengan setengah badan basah kuyup saya pun mampir ke penjual bebek bakar, sambil menunggu pesanan saya berlari ditengah hujan ke minimarket disebelahnya untuk membeli minuman dingin untuk Aisha berbuka nanti.

Tiba di rumah saya disambut halilintar yang menggelegar, rupanya hujan menjadi badai. Sambil berganti pakaian, saya menyuruh Aisha mematikan televisi.

"Tidak mau", ujarnya bak serangan pertama untuk emosi saya,"Kakak mau lihat azan Maghrib"

Dia yang baru berulang tahun keenam minggu lalu itu memang sudah sanggup berpuasa sampai Maghrib. Alih-alih memarahinya, saya diam saja dan langsung meraih telepon untuk berbicara dengan suami di seberang lautan. Mungkin karena badai, telepon tak kunjung tersambung.

Buk! sebuah benda dilempar ke muka saya oleh Maliq, rupanya kotak susu dingin yang disiapkan untuk buka. Barusan saya melihat Maliq sendiri yang meminumnya.

"Kok habis? ", si dua tahun hampir menangis. Tampak setengah marah kepada saya!

Sebetulnya lucu, seorang anak menangisi susu yang dihabiskannya sendiri. Tapi dalam kondisi lelah, hampir-hampir saya menghardiknya. Untung telepon yang tersambung menyelamatkan Maliq dari Ibunya. Saya berkeluh kesah sejenak pada suami sampai azan Maghrib tiba. Satu marah lagi berhasil saya tahan.

"Ade, ayo ganti baju dan sikat gigi", ajak si Mbak.
"maunya sama mami", jawab Maliq mendekati saya.

Usai berbuka, lelah ini makin menjadi. Bukannya menanggapi Maliq, saya malah masuk ke kamar tidur dan berbaring. Sepertinya si Mbak sedikit memaksa Maliq hingga ia menangis keras di kamar mandi, Aisha masih berkutat dengan bebek bakar. Saya tidak peduli.

Pun ketika Maliq menghambur masuk dan meminta saya memakaikan piyama. Bukan karena perhatian, tetapi karena malas mendengar suara tangis saya memakaikan baju dengan kasar. Ia terus menangis tapi saya berbaring tak peduli, telungkup dan malah membuka facebook.
Dua puluh menit kemudian, Aisha menyusul masuk kamar.
"Kenapa Ade nangis?"
"Gak tahu, mami capek", jawab saya asal.
"Nanti Kakak pijat kaki mami," Si sulung keluar kamar. Rupanya ia menyikat gigi dan berganti pakaian sendiri.
Kembali ke kamar, Aisha malah mengajak main adiknya. Memang suasana jadi tenang sedikit karena Maliq jadi tidak menangis lagi.
"katanya mau pijat mami", saya mengacau
"Iya sih..eh Mami, ada majalah bobo baru tuh",jawab Aisha
"O yeah..", saya berbaring lagi, tidak peduli.
Antara tidur dan mendengar cekikikan Maliq dan Aisha yang sekarang berebut roti dalam kemasan kecil, saya membalikkan badan.

Dor!
Ada bunyi kecil di punggung saya, seperti balon meletus. Aisha dan Maliq terbahak-bahak begitu senangnya sampai saya ikut merasa geli.
"Mami.. rotinya kempes..rotinya kempes..."
Kantuk saya hilang seketika. Saya bangkit dan mendapati roti dalam kemasan yang sudah gepeng tertimpa tubuh berat saya.
"Wah.. gak enak lagi dimakan", ujar saya.
"gak pa pa mi..kita coba"
"kita coba", Maliq menirukan kalimat kakaknya.
Saya membuka roti yang sudah jadi padat itu dan membagi potongan-potongannya pada anak-anak.
"Hmm..enaaak,"ujar Maliq.

Saya tergoda untuk mencicipi. Rasanya enak, manis.
Sepuluh menit kemudian Maliq dan Aisha berbaring di sebelah kanan dan kiri saya. Tertidur dengan nyenyak, bibir mereka menyunggingkan senyum. Mungkin yang terakhir mereka ingat adalah rasa manis si roti kempes. Bukan ketidakpedulian ibunya. Bukan keengganan ibunya menyisihkan waktu mengurus mereka setelah seharian tidak bertemu. Bukan kemalasan ibunya menemani mereka bermain barang setengah jam.

Mengapa saya tidak bisa melihat keindahan azan maghrib ditengah badai? Mengapa saya tidak mau mencium harumnya arome bedak bayi yang mereka pakai seusai berganti piyama? Mengapa saya tidak ikut terbahak waktu kemasan rotinya kempes?

Mengapa mami hanya peduli pada diri sendiri?
Karena jiwa mami seperti kemasan roti yang kempes. Tipis dan padat. Maafkan mami, Nak.

Komentar