Kebanyakan orang tidak suka
menunggu termasuk saya, tetapi akhir-akhir ini menunggu menjadi kegiatan yang
tidak bisa dihindari. Maliq dan Aisha “kehilangan” guru privat untuk pelajaran
mengaji karena Ibu yang sudah tidak muda lagi itu menderita asam urat sehingga
kesulitan mengunjungi kami di rumah. Maka kembali setiap jam 3 hingga pukul
lima sore Maliq dan Aisha harus pergi ke TK Al Quran setempat.
Setempat, artinya satu kilometer
dari rumah, dan diantar dengan mobil.Ada yang lebih dekat dan bisa ditempuh dengan
jalan kaki tetapi harus melalui hutan kecil yang sunyi atau melalui jalan raya
yang dilalui truk-truk besar, saya tidak tega melepaskan anak-anak.
Tepatnya di kompleks Masjid Al
Manar dan daripada pulang pergi dengan kemungkinan Maliq enggan saya tinggal
sendiri di “sekolah” atau Langit yang kemudian menangis (karena biasanya ia
tertidur antara pukul 3-5 sore), saya pilih menunggu Maliq dan Aisha sampai
selesai belajar mengaji. Dan dua jam dengan bayi yang tertidur didalam mobil
(atau pelukan saya), bukan hal yang terlalu menyenangkan. Adakalanya saya ikut
tertidur, tetapi tahu-tahu Langit hampir jatuh terguling karena biasanya dia
saya lepaskan dari car seat supaya lebih nyaman. Inginnya saya masuk ke dalam
masjid untuk shalat Ashar atau sekedar membaca kitab suci, tetapi Maliq masih
sering “keluar kelas” untuk menjenguk saya di parkiran.
Menunggu oh menunggu. Kalau Bayi
Langit terbangun maka saya masih memiliki teman bercanda, kadang saya membawa
pisang atau jus yang bisa saya berikan padanya sementara menunggu. Membaca
buku, tentu saja dan saat ini bahkan menulis sekalian.
Yang pasti, menunggu dengan
tertidur saya hindari sejak minggu lalu. Karena tertidur – dan entah berapa
lama – terbuai dengan suara-suara dari masjid serta keteduhan lingkungannya
yang membuat nyenyak, saya terbangun oleh suara anak-anak yang sudah ada di
dalam mobil.
“Mami, bangun, ayo kita
pulang...,”seru Aisha
Terkejut saya langsung
menghidupkan mesin mobil dan mundur untuk keluar dari tempat parkir.
Sayup-sayup saya mendengar Aisha berkata lagi ,”kayaknya mami belum sadar deh”
“Mami...kita ‘nabrak batu...kok
mami terus mundur sih?!”
Teriakan Maliq membangunkan saya
100%. Astaghfirullah, nyaris kami menabrak pohon juga! Sungguh kelalaian yang
tidak bisa dimaafkan. Seorang ibu boleh lelah, seorang ibu boleh memanfaatkan
waktu menunggu dengan beristirahat. Tapi harus tetap waspada dan mengutamakan
keselamatan anak-anaknya.
Maafkan Mami anak-anak, biar
membuat catatan ini menjadi cara menunggu yang tidak membosankan...
Komentar
Posting Komentar