Sekolah Rumah “Pak Jon”

Awal tahun 2012 nanti Insya Allah kami mendapatkan anggota keluarga baru. Adik Aisha dan Maliq, anak ketiga kami yang sudah memasuki empat bulan dalam kandungan.
Sedianya bacaan dan semua sumber tentang bayi, menjadi ibu (lagi,  selalu merasa ada yang kurang  tentang menjadi ibu yang baik), dan tentu saja segala sesuatu mengenai pendidikan anak menjadi buruan saya lagi walaupun kondisi fisik masih kurang mendukung .Sejak memahami bahwa basis pendidikan anak-anak adalah rumah beberapa tahun yang lalu, saya memang selalu  mencari dan mengumpulkan berbagai sumber, informasi, buku, mengikuti milis dan grup mengenai pendidikan, apapun yang bertema pendidikan dan sekolah rumah.
Sibuk dengan hal ini, ternyata saya melupakan satu sumber yang sebenarnya justeru sangat penting dan mungkin menjadi dasar semangat saya menjalankan pendidikan berbasis rumah untuk anak-anak. Bahkan semangat saya untuk menjadi seorang ibu yang sepenuhnya mengurus (dalam arti harfiah)  anak-anak dengan tidak begitu saja menyerahkan urusan pendidikan ke lembaga sekolah (formal).
Tersebutlah nama Pak Jon, yang tentu saja tidak dikenal masyarakat luas seperti nama Pak Raden atau “Pak” “Pak” yang lain karena nama tersebut adalah panggilan akrab tetangga untuk bapak saya tercinta, Raden Budjono. Kelahiran Bobotsari, 12 April lebih dari 63  tahun yang lalu. Beliau tentu saja tidak membaca John Holt, tidak tahu tentang buku Homeschooling Kak Seto (walaupun mengenal tokoh ini secara kebetulan,tidak akrab), tidak membaca Marty Lane dan jelas tidak membaca Paulo freire dan kawan-kawan.  Bapak, begitu kami memanggil beliau,  juga tidak tahu bahwa Jim Trelease dan Linda Dobson punya banyak teori untuk ditulis mengenai Read Aloud dan Tamasya Belajar.


 Bapak hanya menjadi Bapak dari empat anak yang berjarak umur satu hingga dua tahun dan satu anak bungsu beberapa belas tahun kemudian dan menjadi Mbah Akung atau kakek dari delapan (sebentar lagi sepuluh) cucu dengan gaya pendidikan beliau yang khas untuk kami semua. Konsistensinya mengagumkan.

Mendongeng sebelum tidur, mengajak menggambar (tidak pernah mengajari,hanya mengajak) bentuk hewan dan berbagai benda, mengajar membaca (beliau pasti tidak mengenal teori phonic,tapi dengan cara inilah kami semua diajarkan membaca), mengajarkan musik dengan bermain gitar dan bernyanyi bersama kami semua serta membuat berbagai kreasi dan keterampilan tangan. Dan sedikit bonus untuk anak-anak yang lebih kecil dan cucu-cucu beliau adalah fieldtrip. Jalan-jalan khas Bapak (Mbah Akung). Naik sepeda atau sepeda motor, diajak keliling kampung melihat hal-hal menarik seperti kereta yang sedang melalui jembatan, bebek atau angsa yang sedang turun berenang ke sawah dan melihat sapi sambil diajak bercerita tentang alam dan dongeng yang pernah beliau sampaikan sebelumnya. Bahkan diajak berkhayal tentang petualangan!    Saya dan kakak saya sebagai anak  tertua dalam anggota keluarga pernah menikmati fieldtrip yang lebih mewah pada masanya seperti ke jatiluhur, monas, sarinah dan jalan thamrin (hanya untuk melihat gedung yang kala itu belum ada di Bekasi). Kreativitas beliau..lebih dari mengagumkan.

Boleh dikatakan, kami –lima kakak beradik dan delapan cucu adalah murid  “Sekolah rumah Pak Jon.” Disadari atau tidak, dipahami atau tidak setelah saya dan kakak/adik dewasa inilah yang membentuk kami menjadi orang-orang yang tidak pernah bosan mempelajari sesuatu. Kalau saja saya tidak terlalu egois untuk mengakuinya.

Ah, Pak..ampuni anakmu ini.


Pelaihari, 19 Juli 2011.



Komentar

  1. oh mami...hiks,,,i miss our childhood.:('..miss Bapak and mama and you and don don. and genk...huhuhu

    BalasHapus

Posting Komentar