Sibuk

“amun ulun kada bisi ading bu’ e..”


(Kalau saya tidak punya adik,bu)


Saya menatap bingung anak yang menjawab pertanyaan tentang silsilah dan asal usul keluarga. Sebuah Bab yang harus dipelajari anak kelas 2 SD menurut kurikulum diknas untuk mata pelajaran IPS.

“bisa pakai bahasa Indonesia,Nak?,”pinta saya

Sekarang giliran si anak yang kebingungan menatap saya. Rupanya ia tidak begitu memahami perbedaan bahasa melayu banjar dan bahasa Indonesia. Masalahnya, saya hampir-hampir tidak mengerti bahasa banjar yang biasanya diucapkan dengan cepat sekali apalagi oleh anak-anak. Untuk Aisha dan Maliq sepertinya tidak ada masalah. Terutama Maliq, yang mungkin belum ada perbedaan bahasa di kepalanya-Indonesia-melayu banjar atau bahasa Inggris yang diucapkan si Barney sekalipun, dia mengerti dan bisa mengucapkannya kembali tanpa masalah samasekali.

Aisha banyak mendapatkan bahasa banjarnya lewat pergaulan di kelas. Kemarin sewaktu bermain game dengan saya dengan reflek saja dia sudah berkomentar “Mamii..kada kawa jar...” (Mami, gak boleh (begitu) dong..) dengan logat lokal.

Alih-alih mempelajari bahasa banjar, saya malah merasa khawatir anak-anak saya akan “melupakan” bahasa Indonesia seperti kasus si anak kelas 2 diatas.

Selain masalah bahasa, anak kelas 2 di sekolah Aisha –yang konon sedang menuju ke Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional – masih belum menguasai benar pelajaran berhitung sementara sepertinya kurikulum atau guru kelasnya (saya hanya guru pengganti) ingin melewati bab –bab tentang dasar perkalian. Enampuluh persen anak belum menguasai perkalian antara dua angka ketika tugas dan bab yang “harus” dipelajari berikutnya adalah perkalian antar tiga angka. Tanpa niat merendahkan saya tidak bisa membayangkan jika bab ini dilanjutkan ke operasi gabungan kali dan bagi.

Tentu saja saya mengerti benar alasan,pendapat dan keberatan para pelaku homeschooling mengenai hal ini. Bagaimana anak belajar harus secara “jamaah” padahal masing-masing anak itu unik? Aisha termasuk yang agak unik. Saya banyak mendorongnya membaca dan menulis (mudah-mudahan ini membantu masalah bahasa indonesianya), dan membiarkan pelajaran berhitung apa adanya sesuai keinginan dia. Aisha cenderung menyukai bahasa inggris, membaca dan menulis dan Agak malas berhitung. Tidak ada anak yang sempurna dan menguasai semua bidang sekaligus.

Lalu kenapa Aisha masih bersekolah formal?

Ini bukan pertanyaan yang harus saya bahas atau jelaskan jawabannya. Mbak Andini Rizky dari Homeschooling Indonesia.com sudah menuliskan lebih dulu “mana yang lebih sulit-Sekolah atau HS”. Menarik Aisha dari sekolah formal jelas keputusan mengerikan buat dia, kalau dia tidak siap mengapa saya harus memaksakan? Saya sendiri orangtua yang liberal sebenarnya, nanii moo ii desu, apa saja boleh. Tidak ada yang harus dalam hal belajar. Sekolah formal,HS, di rumah, dimana saja.

Kami juga tidak menerapkan afterschooling, full HS, Hs dan semua turunannya-saya tidak menemukan padanan yang tepat untuk kata “turunan” ini diambil dari penggunaan kata turunan untuk rumus dan bahan kimia. Kami, saya dan suami, menerapkan pendidikan berbasis rumah. Belajar itu utamanya di rumah, sekolah adalah bagian dari kegiatan rumah. Jadi buat Aisha, biasa saja kalau pelajaran sekolah kadang lebih rendah dari di rumah. Dia tidak bingung sampai saat ini-saya mempercayai kemampuan dan kualitas komunikasi saya dengan Aisha –antara rumah dan sekolah. Kadang hal ini membuatnya tampak sombong, sebentar kemudian tampak jauh lebih kekanakan dibanding anak sekelasnya lain waktu dia tampak sangat tua. Misalnya saja, Aisha sudah menyelesaikan buku matematika kelas I sekolah formal di rumah, lalu saya mengisinya dengan game dan memperkuat kemampuannya berhitung dari buku-buku non formal sambil saya perkenalkan juga buku matematika untuk kelas 2. Aisha masih bermain plastisin ,lego dan mewarnai-hal yang tidak dilakukan anak kelas 1 di sekolah. Aisha sudah membaca novel dan karya sastra pendek seperti yang dilakukan anak-anak kelas 5 dan 6 di sekolahnya.

Dan saya tidak peduli dengan rapot sekolahnya. Ini agak sombong dan aneh. Tapi aisha mengerti tentang ini. Dia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi juara kelas, tetapi sadar –ala anak 6 tahun – bahwa nilai dan menjadi juara bukan bagian dari prinsip belajar. Dia bisa mentertawakan gurunya di rumah karena menyalahkan jawabannya untuk “belajar adalah hak” dalam mata pelajaran PKN. “mami, bu guru bilang, belajar itu kewajiban siswa, kasihan ya siswa..enakan jadi anak-anak, belajar ‘kan hak”.

Kami mempelajari apa saja sambil melakukan apa saja – dari bangun tidur sampai tidur lagi. Aisha dan Maliq mengerti setiap hal bisa mereka eksplorasi sejauh ini. Misalnya kereta mainan hadiah ulang tahun Maliq, sambil makan siang dan melihat si kereta berjalan kami berbicara tentang energi dan perubahannya. Untuk ini Aisha sudah melampaui bab yang dipelajari anak kelas 2, padahal dia baru kelas 1. Tidak masalah buat Aisha, karena saya melayani saja pertanyaan dan membiarkan dia mengeksplorasi si kereta tanpa menghubungkannya dengan ini dan itu nya pelajaran sekolah.

Kami mempelajari surat-surat pendek atau juz 30 menjelang tidur, dengan cara dibaca dan dibaca hingga sekarang ini sudah dihafal sebagian besar. Beberapa minggu terakhir muncul niat Aisha untuk menuliskannya, saya biarkan saja, hingga ia menuliskan 1 surat per minggu termasuk artinya lalu membuat target sendiri “dua hari untuk surat yang pendek mi!”. Diluar pelajaran sekolah, karena Aisha menyukainya. Saya hanya mewajibkan apa yang diwajibkan agama kami :Shalat dan mengaji.

Kami berhitung dengan ubin rumah, mengamati kepik di bunga rumput dan mencari bukunya di perpustakaan sekolah. Mengamati jenis-jenis pohon bumbu (sereh,kencur,kunyit,cabe) dan sarang semut saat saya menjemur pakaian; mempelajari sapi dan kambing adalah mamalia saat membeli minyak goreng ke warung atau membicarakan sifat air saat bermain hujan. Dan bahkan mempelajari hak,kewajiban dan peraturan saat berlalu lintas ke sekolah.

Jadi, kalau dipertanyakan masalah konsep belajar, apakah HS, afterschooling,sekolah swasta,IT,RSBI,inpres dan seterusnya...maaf,kami sibuk.

Komentar