Swalayan Manual dan Orientasi Pelanggan

“Mami. Kakak dapat kosakata baru : berpandir”

“Hah? Pandir?”

“Bukaan, Berpandir, artinya ngobrol”

Padahal pandir dalam bahasa Indonesia artinya (maaf) bodoh.

Begitulah, proses adaptasi kami terus berlanjut. Lebih dari sekedar bahasa, tetapi termasuk juga , masalah fasilitas lingkungan dan kemudahan lainnya.

Beberapa bulan lalu, sewaktu masih di Bekasi, saya biasanya sangat tidak sabar pada kasir minimarket atau swalayan yang lambat. Atau jika ada barcode yang tidak terbaca saat waktunya membayar. Disini, saya menemukan ketidaksabaran itu tidak ada gunanya. Bukan karena kasir yang lambat, justeru kasir di toko swalayan lokal bernama Toko Mitra saya nilai sangat terampil dalam menjalankan tugasnya, hanya saja swalayan ini tidak memiliki mesin kasir!

Tidak ada yang berbeda waktu anda memasuki Toko Mitra dengan swalayan kecil seperti NAGA atau Alfamidi. Keranjang, barang-barang yang disusun berdasarkan kelompok tertentu, ketersediaan produk dari peralatan bayi hingga minuman dingin dan sabun cuci, gerai makanan kecil dan label harga pada barang semuanya bisa dibilang sama. Hanya saja selesai berbelanja anda tidak menemukan meja kasir yang biasanya. Sang kasir menggunakan meja tulis biasa, dia akan menuliskan barang belanjaan kita secara manual di selembar kertas seperti ketika berbelanja di agen warung di pasar tradisional, lalu menjumlahkannya dengan sebuah kalkulator!

Keterampilan sang kasir dalam menggunakan kalkulatornya mengagumkan, ia masih bisa tersenyum dan menggoda anak saya serta menawarkan apakah makanan kecil yang kami beli akan dibawa sendiri oleh anak saya tanpa menghentikan perhitungannya. Waktu saya periksa kembali di rumah, tidak ada yang salah dengan jumlah belanjaan yang saya bayar, hebat. Padahal menurut suami saya sepertinya hanya Tuhan dan sang kasir yang mengetahui harga barang-barang di Toko Mitra ini.

Orientasi pelanggan personil Toko Mitra ini juga bisa bersaing dengan waralaba minimarket di kota-kota di Jawa, walaupun tanpa kata-kata “ Anda berhak mendapatkan sebungkus mi instan jika tidak menerima senyum atau struk belanja”. Seorang wanita yang tampaknya pemilik toko senantiasa duduk didekat kasir, atau di dekat pintu masuk dan keluar sambil mengawasi jika ada masalah dengan pembeli, membantu mencarikan barang tertentu, tersenyum dan menyapa pelanggan hingga meneriaki pegawainya untuk membantu pelanggan yang kesulitan. Suatu kali ketika saya berbelanja, pegawai yang tengah stock opname berhenti dulu untuk membantu mengambilkan barang yang terletak di rak yang cukup tinggi – saya pernah memarahi pegawai swalayan besar yang mengabaikan permintaan tolong karena sedang melakukan stock opname. Padahal menurut pengamatan saya selama tiga minggu terakhir, Toko Mitra bisa dibilang hampir tanpa kompetitor kecuali toko-toko kelontong tradisional.

Jadi, orientasi pelanggan tidak dibatasi kondisi yang manual atau modern, bukan?

Komentar