Baca..baca..baca..

..namun sayangnya, minat baca anak Indonesia dinilai rendah..

Demikian saya membaca di sebuah artikel di blog penerbit Tiga Serangkai.

Sabtu lalu saya dan anak-anak mengunjungi Pesta Buku Jakarta di Istora Senayan. Aisha, tentu saja, Nona Artis yang memimpin jalan-jalan kali ini. Bertemu banyak stand yang menawarkan buku, dia sungguh-sungguh bahagia. Sesaknya antrian pengunjung, AC yang kurang dingin sampai lelahnya badan -karena kami ke sana setelah makan siang seusai mengunjungi Bobo Fair di JCC- tidak menyurutkan semangat Aisha mencari bahan-bahan bacaannya.

Saya sengaja hanya mengawasi, ingin tahu buku apa saja yang dipilih Aisha. Seminggu yang lalu kami baru saja ke bookstore dekat rumah dan membeli beberapa buku. Waktu itu dia memilih "Ayam Merah Kecil" yang merupakan cerita klasik rusia, sebuah buku tentang Gajah dan beberapa buku aktivitas. Seringnya dia memilih buku-buku cerita bernuansa islam dan diselingi-tentu saja- cerita-cerita Princess Disney yang cantik jelita itu.

Raksa si Logam Cair, 2 buku dari Seri si Tobi (buku ini ada beberapa seri bercerita tentang fungsi membersihkan tubuh, makan sayuran dan sebagainya),3 judul seri transportasi dan 3 buku bilingual.

"Buku ini 2 bahasa lho kak, ada bahasa inggrisnya", Saya sekedar mengingatkan
"kakak tahu, sengaja pingin tahu aja", Jawabnya yakin.

Urusan minat baca dan mendorong anak untuk membaca buku memang tidak pernah menjadi masalah buat kami sekeluarga. Tadinya saya malah tidak memperhatikan samasekali bahwa di luar sana banyak yang memasalahkan rendahnya minat baca hingga mendengar "Gerakan Bekasi Membaca" atau "jakarta membaca" atau "Ayo Baca Buku" hingga ada toko buku besar dan bagus yang tutup (mungkin) karena kurang pembeli.

Bapak saya mulai mengenalkan huruf sebelum kami masuk TK nol kecil, waktu itu beliau menggunakan kertas HVS dan menggambar benda-benda dengan 4 huruf seperti TO PI dan seterusnya. Saya, lima kakak beradik tidak ada yang belum bisa membaca sesudah ulang tahun ke empat. Saya menyelesaikan koleksi majalah intisari Bapak sebelum naik kelas 3 SD. Karena harga buku yang mahal dan kehidupan kami yang sederhana, kami kerap meminjam buku-buku teman. Begitu kami menginjak usia SMP dimana uang saku terdiri dari ongkos dan uang jajan, kami (waktu itu saya dan kakak saya) mulai menyisihkan uang untuk mengunjungi toko buku satu-satunya di Bekasi yang menjual seri Enid Blyton dan Trio Detektif.

Kebiasaan membaca ini saya bawa terus hingga saat saya sudah bekerja rentang bacaan meluas dari novel terjemahan, manajemen, agama, dan lain-lain. Saat ini di rak buku saya yang sederhana terdapat tak kurang dari 200 judul buku.

Cara Bapak ini mengajar baca saya ajarkan kepada Aisha dan Maliq- bukan dengan niat agar mereka mencintai buku, tapi lebih karena itu cara yang saya tahu dan sukai untuk berkegiatan dengan anak.

Jadi, membaca menjadi kegiatan sehari-hari seperti laiknya menonton TV. Aisha termasuk jarang menonton TV , apalagi setiap hari Kamis saat majalah kesayangannya datang. Si Mbak pun maklum kalau saat itu Aisha tidak akan menyahut untuk dipanggil makan dan mandi. Saya sendiri memang tidak menonton televisi.

Kadang saya membiarkan Aisha membaca sampai larut malam (-Well, jam 21.30 cukup larut untuk anak berusia 5th 10bulan), terutama kalau ada buku baru dan besoknya hari libur. Kebiasaan atau "budaya keluarga" -saya lebih suka menyebutnya begitu, ternyata lebih efektif daripada metode apapun untuk mendorong minat baca.

Sayangnya, harga buku memang lumayan tinggi untuk keluarga sederhana seperti kami. Bahkan satukali pernah, karena inginnya membaca versi asli sebuah buku (tahu kan harga buku versi asli yang belum diterjemahin mmmh), saya pernah "membajak" buku tersebut...semoga yang berwenang mengampuni.

Sedangkan keluarga dengan keuangan cukup disekitar kami lebih menyukai berlangganan TV kabel..ironis ya?

Komentar