Tidak Perlu Mengajar Terus Menerus





"Naik Angkot sampai stasiun, naik kereta sampai stasiun pasar senen, naik Bajaj sampai di Masjid Istiqlal", Aisha menjelaskan jalur perjalanan kali ini.

Tidak bermaksud menyuruhnya belajar setiap saat, hanya tiba-tiba saja terpikir kalau kami belum pernah mengunjungi masjid terbesar di Asia Tenggara ini. Sementara Aisha yang sudah menyerap pola "belajar dimana saja", sepertinya sudah tidak memerlukan panduan dan menganggap jalan-jalan kali ini hanya "satu dari field trip bulanan".

"Siapa pendirinya? Tahun Berapa Mi? Kok Bagus sekali? Kata Mami ada perpustakaannya? Ada bagian anak-anaknya gak? ini tempat apa? Ada berapa pintu?"

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari Aisha selain kalimat subhanallah yang reflek diucapkannya ketika kami menyusuri bagian-bagian Masjid .Saya sibuk mengingat-ingat,menjawab sebisanya dan mencatat serta berjanji "nanti akan mami carikan informasinya".

"Kita masuk dari pintu Al Fattah, ini pintu Al Malik..ha ha seperti Nama Ade ya mi? Maliq Fattah Hanafi. Apa Hanafi juga nama Imam?"
"Diseberang itu Katedral yang mami ceritakan ya? apa kita bisa kesana?"

Lagi-lagi Aisha mengutarakan pendapat-atau pertanyaan, yang pada akhir perjalanan ini membuat saya lebih banyak PR dibanding murid yang akan mengadakan kunjungan belajar.

Ternyata mengajar memang tidak perlu dilakukan terus menerus. Pada dasarnya seorang anak memang pembelajar, selalu berusaha menyerap dan mencari informasi dan punya kemampuan untuk meneliti. Saya juga pernah membaca hal seperti ini disuatu tempat, hanya saja baru mengalaminya sendiri.

Lebih mengejutkan lagi, saat kami bercerita pada Papinya tentang kunjungan ke Masjid Istiqlal, Aisha bertanya,"Papi, masjid apalagi yang besar dan indah selain Istiqlal yang bisa kita kunjungi?"

Maka At Tin dan Masjid Kubah Mas pun menjadi rencana kunjungan selanjutnya.

Komentar